Berbeda dengan perkembangan keagamaan di dunia Eropa dan negeri-negeri Barat lainnya setelah renaissance, pemikiran Islam bisa disebut tak pernah mengalami sekularisasi. Pemisahan gerakan Islam dari dunia politik bisa dipandang penyimpangan ajaran Islam yang mudah dituduh sebagai konspirasi kekuatan anti-Islam.
Keterlibatan politik santri terlihat dari perjalanan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi terbesar santri yang lahir sejak sebelum kemerdekaan. Keduanya tak pernah benar-benar terbebas dari kegiatan politik walaupun menyatakan diri bukan gerakan politik seperti dirumuskan dalam khitah masing-masing. Kecenderungan demikian bisa dibaca dalam dinamika Muhammadiyah menjelang pemilihan pimpinan Ketua DPP PAN (Partai Amanat Nasional) di kongres awal April 2005 dan pergantian pimpinan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), yang keduanya menyatakan diri sebagai partai terbuka. Hubungan Islam dan politik amat jelas dalam dinamika partai-partai Islam atau berbasis komunitas muslim lainnya seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan) , PBB (Partai Bulan Bintang), PBR (Partai Bintang Reformasi), dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), serta partai-partai Islam lainnya.
Setelah selama Orde Baru, aktivis Muhammadiyah seperti bertapa politik, tetapi secara diam-diam terlibat dalam Golkar, PPP dan PDI (PDI-P). Runtuhnya rezim Orde Baru membuka peluang mereka mendirikan partai politik, seperti PAN (Partai Amanat Nasional). Sementara aktivis NU mendirikan PKB, aktivis lainnya mendirikan beberapa partai, PBB, PKS, PBR. Sejak awal kemerdekaan Muhammadiyah adalah anggota istimewa Masyumi hingga menjelang partai itu bubar. Di saat hampir bersamaan NU menjadi partai setelah memisahkan diri dari Masyumi.
BANYAK pihak memandang keterlibatan politik gerakan Islam dalam dunia politik bisa mempersulit pertumbuhan demokrasi. Kaum santri meletakkan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai pemenuhan ajaran dan jalan pengabdian pada Tuhan (sabilillah) . Perdebatan hubungan Islam dan politik, khususnya keterlibatan gerakan Islam dan kaum santri dalam dunia politik tak pernah selesai dan terus mewarnai setiap fase perkembangan politik nasional.
Fokus perdebatan demikian bersumber dari dua pandangan dasar. Pertama, melihat dunia politik sebagai wilayah profan yang terbuka bagi partisipasi publik tanpa memandang kualitas keberagamaan atau ke-santri-an. Kedua, melihat dunia politik sebagai realisasi kebenaran ajaran agama (Islam) yang absolut dan hanya dikuasai sekelompok elite keagamaan dengan beragam sebutan seperti ulama, wilayatul faqih atau ahlul halli wal aqdi.
Berdasar pandangan kedua, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik hanya melalui wasilah elite keagamaan yang di negeri ini dikenal sebagai kelas kiai dan ulama atau pemimpin gerakan Islam. Inilah penyebab sulitnya partai santri berkomunikasi terbuka dan dialogis dengan konstituen rakyat pemilih. Cara pandang ini menyebabkan aktivis politik santri sulit mengakomodasi kepentingan publik rakyat yang tergolong abangan atau priayi. Akibatnya, partainya kaum santri sulit memperoleh dukungan mayoritas pemilih yang mayoritas memeluk Islam. Ironisnya fakta politik ini seringkali dipandang sebagai rekayasa dan konspirasi kekuatan anti-Islam yang terus mempersulit perumusan kebijakan politik nasional ketika semua problem politik dilihat sebagai wilayah sakral dan tertutup.
"Syahwat" (hasrat) politik, istilah yang belakangan mulai akrab dipergunakan untuk melukiskan keterlibatan politik aktivis santri, merupakan gejala laten yang selalu melibatkan perdebatan rumit tentang halal-haram dan dosa-pahala dalam setiap tindakan dan kebijakan politik.
Pencairan problem politik santri di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini lebih mungkin jika bisa dilakukan redefinisi agama sebagai tafsir nilai-nilai absolut yang bersumber dari kitab suci. Tafsir atas ayat-ayat dari kitab suci adalah hasil kreatif manusia yang berada pada wilayah kebudayaan yang profan.
Penempatan tafsir sebagai wilayah profan (kebudayaan) tersebut bukan berarti penurunan derajat ajaran Islam autentik, dalam arti sebagai wahyu yang termaktub dalam kitab suci, dalam wilayah profan sebagai produk budaya. Sebaliknya, reposisi tafsir itu justru lebih menjamin penempatan ajaran Islam tetap dalam posisi otentiknya sebagai sumber ajaran universal yang absolut dan sakral. Dari sini perdebatan hubungan Islam dan politik serta peran politik santri dalam dinamika politik nasional bisa dikembangkan menjadi lebih produktif. Reposisi tafsir dan ajaran otentik akan membuka dialog dan komunikasi politik santri dengan konstituen dari rakyat pemilih yang dalam kategori Geertz-ian tergolong priayi dan abangan menjadi lebih konstruktif.
Melalui proses demikian, aktivis politik santri dan partai Islam mengembangkan kebijakan dan program politik yang lebih memihak kepentingan publik rakyat pemilih. Dari sini dikembangkan praktik politik santri sebagai transformasi keberagamaan bagi penumbuhan kehidupan politik lebih demokratis dan pemberdayaan kehidupan sosial dan ekonomi mayoritas rakyat yang mayoritas muslim.
Hanya dengan demikian partai kaum santri diharapkan memperoleh dukungan mayoritas pemilih baik dalam pemilu (pemilihan umum) legislatif, pemilu presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.
HASIL pemilu legislatif, terutama pilpres 2004 merupakan pelajaran berharga aktivis politik santri. Kemenangan Golkar dan PDI-P merupakan hasil komunikasi politik dialogis dengan rakyat pemilih. Demikian pula perolehan suara Partai Demokrat yang mengejutkan dan peningkatan perolehan suara PKS. Bedanya, jika komunikasi politik Partai Demokrat lebih terbuka tanpa beban teologis, komunikasi PKS terkesan ad hoc tanpa memberi wewenang publik pemilih yang tergolong abangan dan priayi terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan politik partai. Sulit bagi PKS dan partai santri berkembang sebagai partai besar tanpa pencairan beban teologis peletakan elite keagamaan (kiai, ulama, ahlul halli wal aqdi atau wilayatul faqih) sebagai pemegang otoritas perumusan kebijakan politik.
Sentimen teologis itu cukup merepotkan Presiden terpilih. Memori publik belum hilang saat Susilo Bambang Yudhoyono disibukkan oleh kritik atas anggota keluarganya yang diisukan memeluk agama selain Islam menjelang dan dalam pilpres 2004. Jusuf Kalla sendiri dalam posisi calon wakil presiden pasangan SBY sibuk mengenalkan diri sebagai keluarga NU dan Muhammadiyah sekaligus, selain sebagai anggota Kahmi. Sementara calon presiden PDI-P harus menggandeng Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan calon presiden Partai Golkar menggandeng Salahuddin Wahid, salah seorang Ketua PBNU, sebagai pasangan calon wakil presiden. Fenomena politik ini menunjukkan kekuatan politik laten gerakan sosial Islam seperti NU dan Muhammadiyah.
Problem serupa dihadapi PAN dalam pemilu dan pemilihan ketua umum DPP, seperti dihadapi Muhammadiyah dalam membangun hubungan dengan PAN yang memiliki hubungan historis dan kultural. Seluruh calon kuat Ketua PAN merasa perlu ber-audensi dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah guna meyakinkan organisasi ini tentang identitas kultural Muhammadiyah- nya.
Beberapa calon kepala daerah dari PAN juga melakukan hal yang sama dengan Muhammadiyah setempat. Sulit bagi calon Ketua Umum PAN memperoleh peluang menang dalam kongres di Semarang saat ini tanpa tiket Muhammadiyah, sama dengan calon Ketua PKB tanpa tiket NU, padahal keduanya menyatakan diri tidak terlibat dalam kegiatan politik (praktis).
Karena itulah penting menjelaskan dan menjernihkan hubungan Islam dan politik dengan menempatkan ajaran Islam sebagai tafsir yang berada dalam ranah budaya. Redefinisi ajaran Islam ini bisa menjadi dasar reposisi politik santri sebagai agenda transformasi religiusitas bagi pemberdayaan sosial, politik, dan ekonomi publik rakyat pemilih. Profetisasi (pemihakan pada pemberdayaan rakyat, meminjam istilah Kuntowijoyo) adalah dasar metodologis pengembangan agenda gerakan Islam seperti Muhammadiyah sebagai praktik kesalehan sosial.
Reposisi politik Islam merupakan paradigma pengembangan dialog partai santri dengan publik pemilih dalam keragaman keberagamaan dari kaum abangan dan priayi. Dari sini gerakan Islam yang berkiprah di ranah dakwah-sosial yang hampir tak pernah bebas dari keterlibatan politik bisa diletakkan basis dan modal sosial perpolitikan santri. Kepercayaan atas Tuhan yang digambarkan sebagai subyek Mahakuasa dengan ajaran-Nya sebagai referensi utama seluruh aspek kehidupan duniawi, difungsikan sebagai etos politik transformatoris pemberdayaan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bagi publik pemilih.
Karena itu Kongres PAN perlu merumuskan agenda politik berbasis trasformasi religiusitas tersebut. Muhammadiyah, yang anggotanya terlibat dalam banyak partai, seperti halnya NU, menyusun agenda pengembangan hubungan politik dengan PAN, partai santri, serta partai-partai yang menjadikan pemberdayaan rakyat sebagai agenda politik. Inilah tantangan bagi Muhammadiyah yang memasuki usia satu abad yang akan menyelenggarakan Muktamar Ke-45 bulan Juli 2005 di Malang.
Bagi gerakan Islam tertua itu inilah momentum revitalisasi pembaruan sosial dan budaya (kesalehan) yang sudah dimulai sejak didirikan tahun 1912 lalu. Dari sini hasrat politik santri difungsikan sebagai kekuatan etis transformasi kesalehan sosial. Melalui proses serupa gerakan dakwah dikembangkan sebagai modal sosial politik santri bagi pengembangan demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini.
Abdul Munir Mulkhan Pengajar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
-::: Beranda :::-
-::: Dengar BBC Indonesia :::-
-::: Our Links :::-
-
-::: Kawan Penulis :::-
- ->Aa` Ilan
- ->Anas
- ->Anto
- ->Adi Nurseha
- ->Bang Adhon
- ->Bos Miqdam
- ->Kang lutfi
- ->Kang Mawhib
- ->Mas Irwan Masduqi
- ->Mbak Mita
- ->Mbak Retno
- ->Nenk enik
- ->Non oO`
- ->Nona Desi Hanara
- ->Om Aan Za
- ->Zacky
- ->Maz Nikmat,Lc. -::: Islamic Links :::-
- ->JIL
- ->Hidayatullah
- ->Dudung
- ->Era muslim
- ->NU Online
- ->PCINU Mesir
- ->Swaramuslim
- ->PP.Tebuireng
- ->Tebuireng Center -::: Public Links :::-
- ->BBC indonesia
- ->Depdiknas
- ->Detik
- ->kompas
- ->Jawa Post
- ->Banjarmasin Post
- ->Leiden universiteit
- ->Harvard University
- ->CO.nr Domain
- ->Info Beasiswa
-::: 10 Recent Post :::-
Syahwat" Politik Kaum Santri
HASRAT atau "syahwat" politik santri, yaitu mereka yang aktif dalam gerakan Islam tak pernah benar-benar padam dalam pergulatan politik sepanjang sejarah negeri ini. Gejala ini merupakan konsekuensi pemahaman ajaran Islam yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk politik kekuasaan.
Posted by MJ Institute at 6/12/2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Mohon kunjungi blog kami yang sudah terupdate di http://airsetitik.co.cc atau http://airsetitik.tk. Kalau berkenan silahkan memberikan masukan.
Salam.
Post a Comment