82 tahun, umur yang matang tentunya jika dijalani oleh seorang manusia. akan tetapi akan lebih matang lagi jika telah diarungi oleh sebuah organisasi ke masyarakatan seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi yang lahir di Surabaya pada tanggal 31 januari 1926 M ini mempunyaipandangan-pandangan keagamaan yang menjadi jangkar pengokoh berdirinya bangsa ini. Tak hanya itu saja, NU dalam sejarahnya yang panjang mampu memerankan diri sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kokoh.
Organisasi yang didirikan dengan tujuan menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini kali pertama terjun kepolitik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. Atas desakan penguasa orde baru, NU menggabungkan diri dengan PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Setelah kesekian kali terjun dalam kancah politik , pada Muktamar ke 26 di Situbondo NU sadarkan dirinya yang beberapa tahun tidur dalam kevakuman dakwah dan akhirnya menyatakan diri 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi dan menjadi organisasi sosial dan keagamaan seperti sedia kala.
Namun sayangnya Khittah NU yang begitu luas dipahami secara sempit, yaitu sekedar melepaskan diri dari semua kekuatan politik, dan melupakan yang paling hakiki yaitu membangkitkan ummat (Nahdlatul al-Ummah) dalam konteks rahmatan lil'alamin. Walhasil NU (Nahdlatul Ulama) lupa untuk mewujudkan NU (Nahdlatul Ummah). padahal inilah yang dimaksudkan khittah NU yang sebenarnya.
Pernyataan kembali ke khittah sendiri membawa dampak yang besar ditubuh NU, baik struktural maupun kultural (Nahdliyyin). Dikarenakan tak sedikit pengurus NU yang mempunyai jabatan penting di Pemerintahan, mereka dihadapkan oleh dua pilihan antara melepaskan diri dari politik dan tetap menjadi bagian Pengurus NU ataukah melepaskan diri dari struktural pengurus NU dan bebas terjun kedunia politik. disisi lain warga Nahdliyiin sendiri terpontang-panting dengan keputusan kembali ke khittah tersebut. Nahdliyyin seakan-akan kehilangan induknya yang selama ini menampung aspirasinya dan tak sedikit Nahdliyiin yang salah pilih induk.
Setelah runtuhnya penguasa orde baru, wacana kembali ke khittah pun muncul lagi. Tidak hanya satu Parpol yang mengklaim dirinya sebagai partai NU. PKB misalnya, walaupun NU tidak memiliki ikatan struktural dengan PKB namun pada faktanya Pengurus dan Ulama-ulama NU memiliki kaitan yan kuat dengan partai ini. Sehingga dalam susunan daftar calon legislatif pun banyak pengurus dan Ulama NU yang cuti. Jika dia terpilih akan berhenti dari kepengurusan dan jika tidak terpilih mereka kembali kejabatannya semula. Bahkan ada fenomena paguyuban Politik Kiai KHos yang mendirikan partai politik sendiri karena tidak puas dengan PKB.
Dengan pengalaman- pengalamn seperti ini, NU seharusnya tidak terjebak dan terjebak lagi kedalam politik praktis, karena politik praktis sendiri telah menimbulkan kerenggangan diantara sesama warga NU. Untuk itu, NU harus kembali kepada politik kebangsaan dan kerakyatan sebagamaina yang telah dicontohkan para pendiri NU dulu. Ini dimaksud kan NU sebagai oraganisasi sosial keagamaan yang berkewajiban menjaga keutuhan NKRI da NU harus berhikmad kepada persoalan dan kepentingan bangsa. Ini selaras degan apa yang diungkapkan oleh KH sahal Mahfudz selaku Rois `Am PBNU "Sudah saatnya, NU menyapih sama sekali warga NU yang menggunakan hak politik praktisnya dengan cara menggariskan ketentuan-ketentuan yang ketat agar tidak terjadi praktik terang-terangan atau terselubung dan membawa institusi NU untuk kepentingan politik praktis," beliau juga mengajak segenap warga nahdliyin untuk mentaati pengertian Khittah NU yang telah diputuskan pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Kediri, Jatim, yang telah menegaskan agar pengurus NU tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik. walaupun pada kenyataan dilapangan hal ini sulit direalisasikan, jal ini dikarenakan NU sendiri telah menjadi ladang politik dan akn menjadi lading politik Indonesia.
Apa yang terjadi di masa lalu bukan untuk disesali akan tetapi diambil pelajaran dan direnungkan. mungkin dengan andilnya NU kepolitik praktis saat itu, NU bisa megupayakan peranannya sebagai oramas dengan maksimal. Dan NU diumurnya yang ke 82 tahun ini diharapkan untuk lebih fokus ke masalah sosial dan keagamaan. Wacana ketertinggalan instusi keagamaan, pendidikan, maupun sosial NU harus diangkat kembali dam dijadikan prioritas utama bagi NU kedepan.
Kita sebagai warga Nahdliyin menyambut dengan penuh bangga tentang tumbuhnya kesadaran para ulama untuk tidak kedalam politik praktis akhir-akhir ini. Biarlah pemerintahan menjadi urusan politisi. Tugas mulia ulama adalah menjadi teladan moral dan sumber inspirasi bagi semangat optimisme dan kemajuan. Apalagi kini bangsa Indonesia sedang membutuhkan keteladanan semcam itu ditengah krisis moral dan tantangan dakwah yang menganga akibat iklim demokrasi dan kemajuan pendidikan.
Munculnya aliran-aliran sesat maupun gugatan terhadap doktrin-doktrin dasar umat Islam oleh kaum neoliberal baru-baru ini merupakan tantangan para ulama untuk menjawabnya. Umat membutuhkan tuntunan konkret untuk menjawab tantangan kehidupan akibat kemajuan perdaban itu. Dan diperlukan startegi dakwah yang baru untuk menjawab tuntunan-tuntunan instan yang disodorkan oleh pelbagai pihak sehingga Nahdliyyin tidak ber taqlid buta. Belum lagi masalah-masalah ideologi dan pemikiran intern dikubu NU sendiri yang harus segera dipecahkan dan diambil jalan keluarnya.
Apalagi kaum muda NU dalam dasawarsa terakhir ini telah menjadi figure sorotan pemikiran kontemporer dijagad pemikiran tanah air. Bahkan tesis Deliar Noor yang menkatagorikan NU sebagai organisasi kaum tradisionalis telah patah, dan terbalik seratus delapan puluh derajat. Pemikiran kaum NU telah menjadi model berfikir yang melampui pemikiran kaum modernis. Namun pemikiran mereka yang semakin hari semakin maju ini hampir tidak terkontrol. Hal ini dikarenakan kelalaian NU sendiri yang selama ini disibukkan dengan politik yang sengaja atau tidak sengaja menyeret mereka kedalamnya.
Menurut hemat penulis NU seharusnya sesegera mungkin merekotruksi ulang setrategi dakwahnya sehingga tidak ada pihak dari kalangan Nahdliyyin yang dirugikan dan diresahkan. NU setidaknya mempersiapkan kader-kadernya sejak dini sehingga NU tidak salah kaprah dikemudian hari. Sehingga NU bisa bermain disegala arena dan panggung dalam posisinya masing-masing yang tetap awet dan legit ditingkat lokal, nasional maupun global tanpa harus tercampur tugasnya sebagai Ulama dan Politisi.
Organisasi yang didirikan dengan tujuan menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini kali pertama terjun kepolitik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. Atas desakan penguasa orde baru, NU menggabungkan diri dengan PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Setelah kesekian kali terjun dalam kancah politik , pada Muktamar ke 26 di Situbondo NU sadarkan dirinya yang beberapa tahun tidur dalam kevakuman dakwah dan akhirnya menyatakan diri 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi dan menjadi organisasi sosial dan keagamaan seperti sedia kala.
Namun sayangnya Khittah NU yang begitu luas dipahami secara sempit, yaitu sekedar melepaskan diri dari semua kekuatan politik, dan melupakan yang paling hakiki yaitu membangkitkan ummat (Nahdlatul al-Ummah) dalam konteks rahmatan lil'alamin. Walhasil NU (Nahdlatul Ulama) lupa untuk mewujudkan NU (Nahdlatul Ummah). padahal inilah yang dimaksudkan khittah NU yang sebenarnya.
Pernyataan kembali ke khittah sendiri membawa dampak yang besar ditubuh NU, baik struktural maupun kultural (Nahdliyyin). Dikarenakan tak sedikit pengurus NU yang mempunyai jabatan penting di Pemerintahan, mereka dihadapkan oleh dua pilihan antara melepaskan diri dari politik dan tetap menjadi bagian Pengurus NU ataukah melepaskan diri dari struktural pengurus NU dan bebas terjun kedunia politik. disisi lain warga Nahdliyiin sendiri terpontang-panting dengan keputusan kembali ke khittah tersebut. Nahdliyyin seakan-akan kehilangan induknya yang selama ini menampung aspirasinya dan tak sedikit Nahdliyiin yang salah pilih induk.
Setelah runtuhnya penguasa orde baru, wacana kembali ke khittah pun muncul lagi. Tidak hanya satu Parpol yang mengklaim dirinya sebagai partai NU. PKB misalnya, walaupun NU tidak memiliki ikatan struktural dengan PKB namun pada faktanya Pengurus dan Ulama-ulama NU memiliki kaitan yan kuat dengan partai ini. Sehingga dalam susunan daftar calon legislatif pun banyak pengurus dan Ulama NU yang cuti. Jika dia terpilih akan berhenti dari kepengurusan dan jika tidak terpilih mereka kembali kejabatannya semula. Bahkan ada fenomena paguyuban Politik Kiai KHos yang mendirikan partai politik sendiri karena tidak puas dengan PKB.
Dengan pengalaman- pengalamn seperti ini, NU seharusnya tidak terjebak dan terjebak lagi kedalam politik praktis, karena politik praktis sendiri telah menimbulkan kerenggangan diantara sesama warga NU. Untuk itu, NU harus kembali kepada politik kebangsaan dan kerakyatan sebagamaina yang telah dicontohkan para pendiri NU dulu. Ini dimaksud kan NU sebagai oraganisasi sosial keagamaan yang berkewajiban menjaga keutuhan NKRI da NU harus berhikmad kepada persoalan dan kepentingan bangsa. Ini selaras degan apa yang diungkapkan oleh KH sahal Mahfudz selaku Rois `Am PBNU "Sudah saatnya, NU menyapih sama sekali warga NU yang menggunakan hak politik praktisnya dengan cara menggariskan ketentuan-ketentuan yang ketat agar tidak terjadi praktik terang-terangan atau terselubung dan membawa institusi NU untuk kepentingan politik praktis," beliau juga mengajak segenap warga nahdliyin untuk mentaati pengertian Khittah NU yang telah diputuskan pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Kediri, Jatim, yang telah menegaskan agar pengurus NU tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik. walaupun pada kenyataan dilapangan hal ini sulit direalisasikan, jal ini dikarenakan NU sendiri telah menjadi ladang politik dan akn menjadi lading politik Indonesia.
Apa yang terjadi di masa lalu bukan untuk disesali akan tetapi diambil pelajaran dan direnungkan. mungkin dengan andilnya NU kepolitik praktis saat itu, NU bisa megupayakan peranannya sebagai oramas dengan maksimal. Dan NU diumurnya yang ke 82 tahun ini diharapkan untuk lebih fokus ke masalah sosial dan keagamaan. Wacana ketertinggalan instusi keagamaan, pendidikan, maupun sosial NU harus diangkat kembali dam dijadikan prioritas utama bagi NU kedepan.
Kita sebagai warga Nahdliyin menyambut dengan penuh bangga tentang tumbuhnya kesadaran para ulama untuk tidak kedalam politik praktis akhir-akhir ini. Biarlah pemerintahan menjadi urusan politisi. Tugas mulia ulama adalah menjadi teladan moral dan sumber inspirasi bagi semangat optimisme dan kemajuan. Apalagi kini bangsa Indonesia sedang membutuhkan keteladanan semcam itu ditengah krisis moral dan tantangan dakwah yang menganga akibat iklim demokrasi dan kemajuan pendidikan.
Munculnya aliran-aliran sesat maupun gugatan terhadap doktrin-doktrin dasar umat Islam oleh kaum neoliberal baru-baru ini merupakan tantangan para ulama untuk menjawabnya. Umat membutuhkan tuntunan konkret untuk menjawab tantangan kehidupan akibat kemajuan perdaban itu. Dan diperlukan startegi dakwah yang baru untuk menjawab tuntunan-tuntunan instan yang disodorkan oleh pelbagai pihak sehingga Nahdliyyin tidak ber taqlid buta. Belum lagi masalah-masalah ideologi dan pemikiran intern dikubu NU sendiri yang harus segera dipecahkan dan diambil jalan keluarnya.
Apalagi kaum muda NU dalam dasawarsa terakhir ini telah menjadi figure sorotan pemikiran kontemporer dijagad pemikiran tanah air. Bahkan tesis Deliar Noor yang menkatagorikan NU sebagai organisasi kaum tradisionalis telah patah, dan terbalik seratus delapan puluh derajat. Pemikiran kaum NU telah menjadi model berfikir yang melampui pemikiran kaum modernis. Namun pemikiran mereka yang semakin hari semakin maju ini hampir tidak terkontrol. Hal ini dikarenakan kelalaian NU sendiri yang selama ini disibukkan dengan politik yang sengaja atau tidak sengaja menyeret mereka kedalamnya.
Menurut hemat penulis NU seharusnya sesegera mungkin merekotruksi ulang setrategi dakwahnya sehingga tidak ada pihak dari kalangan Nahdliyyin yang dirugikan dan diresahkan. NU setidaknya mempersiapkan kader-kadernya sejak dini sehingga NU tidak salah kaprah dikemudian hari. Sehingga NU bisa bermain disegala arena dan panggung dalam posisinya masing-masing yang tetap awet dan legit ditingkat lokal, nasional maupun global tanpa harus tercampur tugasnya sebagai Ulama dan Politisi.
0 comments:
Post a Comment